Untitled

As the night turn to day, darkness leaves the sky and the sun come up to a beautiful day. The sky is blue and the clouds are fluffy, the birds chirping happily and the air so fresh. Peaceful. Serene…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Cerita Cita

Day 3: A memory

Kali ini aku akan bercerita kisah yang, entah kenapa, jarang aku ceritakan. Sekadar pemberitahuan, sepertinya cerita ini akan panjang. Jadi, mari siapkan selimut dan tidur.

Sebagian teman yang yang mengenalku sejak SMA atau kebetulan kenal aku setelah lulus SMA tahu kalau aku gap year — dan sekarang kamu pun tahu karena membaca tulisanku ini. Keputusan untuk menunda kuliah satu tahun aku ambil setelah menolak kuliah lewat jalur undangan — silakan hujat aku — dan ditolak kuliah lewat jalur tes tulis. Aku memutuskan untuk menunda kuliah karena mencoba berpegang pada keinginanku untuk menjadi dokter.

Memutuskan untuk gap year ternyata bukan perkara mudah. Setiap kali ditanyai kuliah di mana, aku berharap orang yang bertanya mendadak lupa ingatan. Awalnya, aku merasa keputusan ini bukan perkara besar, tapi ternyata jika ditambahkan faktor komentar dan pandangan orang, rasanya tidak sesederhana itu. Sebagian orang bahkan ada yang tidak percaya kalau aku belum masuk kuliah. Kamu kan pintar, kata mereka. Akhirnya, aku memutuskan untuk menonaktifkan sementara semua sosial media.

Aku memutuskan untuk mulai belajar dari buku-buku kumpulan soal ujian masuk perguruan tinggi dan mulai bimbel secara daring. Belajar sendiri ternyata sulit. Jadwalku tidak teratur dan itu membuatku lebih banyak mengurung diri di kamar. Mamaku khawatir melihat keadaanku. Mama tidak bilang, sih, tapi ya itu yang aku rasakan. Akhirnya, beliau menawariku untuk ikut bimbel di Jalan Reog. Jaraknya cukup dekat dari rumahku, bisa kutempuh dalam lima belas menit kalau naik motor.

Perbedaan yang paling aku rasakan antara bimbel daring dan bimbel luring adalah aku merasa tidak sendirian ketika ikut bimbel secara luring. Ada orang-orang yang wujudnya secara nyata bisa aku lihat, bahkan bisa kujitak kalau berulah. Bahasa kerennya, aku merasa punya kawan seperjuangan. Aku pergi ke tempat bimbel hampir setiap hari, bahkan ketika tidak ada jadwal bimbingan. Selama satu tahun, aku menghabiskan waktuku di sana; dari pagi hingga malam, dari Senin hingga Minggu. Aku merasa punya rumah kedua. Aku bertemu banyak orang di sana, dari mulai guru-guru yang bisa aku ajak curhat, teman-teman yang suportif, aa penjaga yang gaul, sampai ibu warung yang senang bercerita. Astaga, tulisan ini semakin mirip iklan bimbingan belajar.

Selama satu tahun itu, aku kembali memikirkan sebenarnya apa tujuanku. Hasilnya tetap sama: aku mau jadi dokter, lebih tepatnya dokter forensik. Aku belajar selama satu tahun dengan harapan bisa masuk fakultas kedokteran di Sumedang.

Tunggu sebentar.

Setelah aku baca ulang, tulisan ini terasa seperti pencitraan. Aku terkesan bak anak rajin yang memperjuangkan mimpinya selama satu tahun. Maaf mengacaukan bayanganmu, tapi sayangnya itu tidak sepenuhnya benar. Selama satu tahun itu, aku tidak hanya belajar-dengan-giat-tanpa-henti-demi-meraih-mimpi, aku masih sering main dan olahraga untuk menjaga kewarasanku.

Di tempat bimbel, aku menemukan teman-teman seperjuangan dan sefrekuensi. Ada dua orang kawan yang paling dekat denganku di sana. Hampir setiap minggu kami meluangkan waktu untuk pergi ke Saraga atau pergi nonton atau sekadar jalan-jalan dan makan atau pergi ke tempat bimbel saat tidak ada jadwal. Intinya, hampir setiap hari kami bertemu. Salah seorang teman dekatku, sebut saja Jo, memiliki tujuan yang sama denganku: masuk fakultas kedokteran di Sumedang. Dia tipe orang yang mudah disukai orang. Orangnya baik dan enak diajak ngobrol. Jo dan aku pulang bersama setiap hari karena rumah kami searah, kadang kalau diburu lapar kami mampir dulu ke warung ayam goreng di Maskumambang, mi ayam dekat komplek TNI, atau nasi goreng yang juga dekat komplek TNI. Aku senang bisa kenal dia.

Eits, tenang ini bukan cerita roman picisan, kamu jangan berpikir kejauhan.

Aku hanya mau cerita kalau bertemu dengan orang yang tepat ternyata bisa meringankan beban. Setelah bertemu teman-temanku, aku merasa gap year ternyata tidak seberat itu.

Singkat cerita, setelah usaha dan doa yang kami lakukan setiap hari, hari ujian pun tiba. Aku ulangi, hari ujian yang menentukan empat tahun ke depan aku belajar di mana tiba. Aku deg-degan setengah mati, takut kalau tahun ini aku gagal lagi. Di tempat les, nilai try out-ku sedang tinggi-tingginya. Kalau melihat pola nilaiku selama ini, aku khawatir nilaiku akan jatuh pada ujian kali ini.

Ternyata, benar. Selepas ujian, aku merasa lesu karena tidak bisa maksimal dalam mengerjakan ujian. Aku pergi makan dengan teman setelah ujian usai. Dia menyemangatiku, “Kamu pasti lolos”, katanya. Aku harap juga demikian. Namun, entah kenapa feeling buruk lebih sering benar.

Tulisan singkat yang aku baca ketika sedang ada rapat itu, cukup untuk meruntuhkan pertahananku. Setelahnya, Jo mengirimi aku pesan untuk menanyakan hasil ujianku, perasaanku mengatakan ia pasti diterima. Benar saja, ia diterima di pilihan satu. Aku menangis di saluran telepon selama lima menit; aku senang temanku berhasil mewujudkan mimpinya, tapi aku juga sedih karena harus gagal lagi. Aku gapapa, kataku di telepon. Ia meledekku, kalo gapapa kenapa nangis. Benar juga ya, seharusnya kalimatnya aku ralat menjadi aku sangat amat tidak baik-baik saja. Asu-ransi jiwa!

Kegagalan kali ini terasa lebih menyakitkan karena rasanya sudah tidak ada lagi harapan. Dengan berat hati, aku mengabari orang tuaku kalau aku gagal lagi tahun ini. Aku menangis selama naik motor dalam perjalanan pulang. Astaga, penuh drama sekali hidupku ini. Setelah sampai rumah, aku masuk kamar dan bersembunyi di antara dua lemari. Aku merasa semua yang aku lakukan selama ini sia-sia. Namun, sungguh, yang paling membuatku sedih adalah aku harus mengecewakan orang tuaku lagi. Ketika mengingat itu, tangisku tak lagi bisa dibendung.

Mama menemukanku sedang bersembunyi di antara lemari. Ia terdiam lama, lama sekali.

Setelah itu, aku mendaftar semua ujian mandiri yang masih dibuka. Aku belajar lagi untuk ujian mandiri. Belajar materi dan juga belajar menata hati. Dari kegagalan yang menyakitkan itu, aku belajar bahwa tidak semua hal bisa kumiliki. Ada kalanya, usahaku tidak sampai pada titik tujuan.

Aku ikut ujian mandiri di berbagai tempat. Selama aku berusaha untuk mencari kampus yang sudi menerimaku menjadi mahasiswanya, Jo masih ada untuk menyemangatiku. Sungguh, Jo, aku beruntung sekali punya teman seperti kamu! Berkat mengikuti ujian mandiri itu pun, aku kembali berkontak dengan sahabat lamaku, Salma. Kami pergi ke Jogja untuk ikut ujian mandiri dan menghabiskan waktu bersama. Di Jogja, aku berkenalan dengan salah seorang driver ojek online yang juga mendaftar untuk ikut ujian masuk kampus. Anehnya lagi, di perjalanan pulang, aku bertemu dengan seseorang yang ternyata lawanku di kompetisi debat saat SMA. Benar-benar aneh, kadang dunia bisa terasa begitu sempit.

Aku merasa ujianku di Jogja mudah dan lebih bisa aku tangani daripada ujian sebelumnya. Aku menaruh harap yang cukup besar di sini.

Tidak.

Aku kembali dihadapkan pada kegagalan. Aku merasa soal ujian di Jogja mudah, begitu pula enam puluh ribu peserta lainnya. Setelah semua yang aku lalui, aku pikir ini saatnya aku mengecap keberhasilan. Nyatanya, hidup kembali mengajakku bercanda. Harapanku untuk menjadi seorang dokter tersisa di kampus di Surabaya dan Purwokerto. Satu kata yang bisa menggambarkan diriku saat itu adalah hopeless. Harapanku sudah pupus entah kemana, kegagalan bertubi-tubi membuatku berpikir aku adalah orang paling bodoh.

Setelah semua kegagalan itu, setiap pagi aku terbangun dengan mata sembap. Aku menangis terus setiap hari, ya karena apalagi yang bisa kulakukan?

Hari itu adalah pengumuman kampus di Surabaya, aku tidak menaruh harapan apa-apa karena takut kecewa lagi. Aku membuka handphone setengah sadar sambil bersandar ke tembok. Aku mendapati tulisan bergerak di layar handphone-ku.

Aku mencernanya selama beberapa detik kemudian berteriak dan berlari ke arah mamaku. Setelah melihat mamaku, aku jadi sadar, ternyata selama ini ada yang lebih sedih daripada aku ketika aku gagal dan ada yang lebih bahagia daripada aku ketika aku berhasil. Mamaku tak henti mengucap syukur. Rasa syukur itu berlanjut hingga dua pengumuman kelulusan setelahnya. Reaksiku tetap sama: berteriak kegirangan.

Ternyata selama ini usahaku bukan tidak sampai tujuan, melainkan belum sampai tujuan. Aku juga belajar bahwa di tengah perjalanan, kadang tujuan bisa berubah karena Tuhan menunjukkan jalan yang menurut-Nya lebih baik dan itu tidak apa-apa.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kuliah di Bogor. Sehari sebelum keberangkatanku, aku pergi bersama Jo. Salah seorang temanku pernah berkata, manusia itu dikirim ke kehidupan seseorang untuk satu tugas, kalau tugasnya sudah selesai, kamu gak bisa menahan dia untuk tetap tinggal. Mungkin itu yang terjadi pada Jo. Namun, tenang saja, aku dan dia tetap berteman baik sampai sekarang. Kalau tidak sedang pandemi, kami pasti sudah mengatur janji temu.

Pada minggu pertama aku tinggal di Bogor, aku ditelepon oleh bibiku. Beliau menangis sembari bilang, “Ade udah besar ya sekarang”. Aku terenyuh. Ternyata, aku yang merepotkan ini begitu banyak disayang. Ternyata, aku bisa sampai di titik ini karena begitu banyak doa baik yang ditujukan untukku.

Untuk setiap orang yang terlibat dalam kisahku, terima kasih. Aku sayang kalian.

Add a comment

Related posts:

1. Artificial Intelligence vs Machine Learning vs Deep Learning

Artificial intelligence (AI), machine learning, deep learning- these are terms we inevitably run into in this era of technology. They may seem unrelated, but in fact they are all linked in a form of…

How task management software helps to deliver great customer service

Customer service encompasses any interaction that clients have with your company and includes the entire experience from the first contact to final sale. To be able to succeed as a business, you…

The Value of The Critique

We have to be able to critique the things we hold dear — like our friendships, and our relationships, and our values, and our work. We will never get better at whatever it is that we’re doing —…