SOLID is a lie

You have probably heard a lot of times that programmers have common wisdom that says you need to write SOLID code, use TDD, Dependency Injection… Basically by that they mean that you need more…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




memangnya kita akan melangkah seberapa jauh?

ruangan dengan dominasi warna putih berlatar belakang kaca yang mengarah langsung pada padatnya kota tak pernah diisi dengan suasana seaneh ini. lugas dewangga masih tetap mempertahankan gestur angkuhnya dibalik meja kerja diatas singgasananya yang nyaman, menatap lurus pada klien VIPnya yang juga merupakan atasan dari yaksa yang sudah mati-matian menahan kesal, sebab arial si klien penting itu tak henti-hentinya menggodai keduanya.

sesi konsultasi yang seharusnya berakhir sebelum jam makan siang berakhir lewat dari tengah hari, matahari sudah tergelincir dari puncak, dan kesabaran lugas tak tersisa banyak. ia melirik sekertaris cantiknya seolah melayangkan protes, mengapa ia harus menjawab ketika arial bertanya iseng mengenai jadwalnya hari ini sehingga pria muda itu tahu jika tak ada klien lain yang datang setelahnya.

saya pikir kalian teman dekat, sekertarisnya memasang senyum masam karena lugas memutar bola matanya jengah atas jawabannya tadi, dan disanalah mereka kini, dengan arial yang tak mau pulang dan sudah seperti di rumahnya sendiri bertanya macam-macam perihal hubungan yang tengah mereka bangun kembali.

“pak,” yaksa memanggil atasannya itu, sosok arial kini tengah meluruskan kakinya di sofa ruangan lugas sembari memangku setoples kue kering, tak tahu malu sekali. yaksa melanjutkan, “jam 2 bapak harus menghadiri outlet kita yang baru, lebih baik sekarang kita makan siang dan bersiap-siap — ”

“nah!” arial menjentikkan jari, dihadiahi oleh lugas tatapan sinis karena sofa nyamannya harus ternodai oleh remah-remah kue kering. “gimana kalau kita makan siang bareng, bang?”

“lain kali lo harus bisa bedain, kita masih berhadapan sebagai kolega dan bukan kawan lama.” lugas melonggarkan dasinya, menoleh pada sekertarisnya mengisyaratkan jika wanita cantik itu sudah boleh beristirahat.

“kan gue adek bestie lo?” pria jakung itu beranjak dari duduknya dan melangkah mendekat, jas mahalnya tersampir di sofa dan lengan kemejanya sudah tergulung sampai siku. ia masih membawa serta toples kue kering yang seharusnya tersimpan aman di bagian bawah meja kopi yang menjadi pasangan sofa beludru di ujung ruangan sana.

“kita mau makan apa? chinese food? japanese?”

“emang gue udah setuju?”

“kak yaksa katanya ngidam ganjang-gejang?” kepalanya dijitak penuh cinta oleh yaksa yang sudah kesal bukan kepalang, selagi sekertaris lugas sudah pergi maka ia sudah tak perlu menahan diri terhadap anak ini.

“emang aku hamil?!”

“terus tadi yang bilang, ariaal, makan siangnya nanti — ” kalimat arial tak sempat terselesaikan karena ia harus menghindari jitakan yaksa yang melayang padanya untuk kedua kali. wajah yaksa sudah merah padam sebab dipermalukan sedari tadi, terlebih di hadapan lugas yang diam saja dengan alis menukik, jangan bilang lugas ilfeel karena yaksa doyan sekali dengan kepiting mentah yang difermentasi?

okay, korean food ya berarti?”

alright! kita nebeng bang lugas!”

“boleh, tapi jangan salahin gue kalo BMW lo tiba-tiba diangkut truk derek.” arial mendengkus sebal.

lugas lantas beranjak menuju sudut ruangannya, tempat dimana jasnya tergantung rapi untuk bersiap keluar dan makan siang. sementara arial menelfon sendiri restoran korea langganannya untuk melakukan reservasi dadakan — yang tentu saja akan diusahakan oleh si pemilik restoran mengingat ia merupakan orang penting yang lumayan sering datang. melalui ujung matanya lugas melirik yaksa yang cukup banyak diam semenjak datang mendampingi arial hari ini, lebih sering menunjukkan interaksi formal dengan atasannya itu walau beberapa kali mereka tampak seperti teman akrab, dan ia tak dapat menahan rasa iri ketika mendapati yaksa yang memungut jas arial dan membantu pria itu mengenakannya. merapikannya dan bahkan membantu memakaikan ulang dasinya sembari berbicara entah apa, mereka cukup jauh untuk lugas mendengar pembicaraan mereka.

“udah reservasi ya, bang. gue share location restorannya.”

“yaksa!” baru saja keduanya berniat beranjak pergi, panggilan atas nama yaksa tak hanya membuat si pemilik nama menoleh, namun juga arial yang kemudian berbalik dengan senyum tengil yang kembali hadir.

“yaksa bareng gue aja.”

“eh?”

“giliran kak yaksa boleh!”

lugas mengangkat bahu, “udah sana buruan, kita ketemu di sana. yaksa bareng sama gue dari sini aja.”

sementara yaksa mati-matian menahan diri supaya tak salah tingkah, arial yang sebelumnya mencibir kemudian kembali pada mode menyebalkannya.

“ciee kak yaksa — ”

“udah deh!”

“ciee cieee — ”

sepeninggalnya arial dan kembalinya ketenangan, lugas lantas segera mendekat untuk menghampiri yaksa yang tampak kesal namun dengan wajah merona malu. ia berbalik menghadap lugas dengan wajah yang sedikit tertekuk, namun menggemaskan luar biasa. tangan lugas tak tinggal diam, setelah berjam-jam terkepal diatas pangkuannya menahan diri supaya tak menyentuh kekasihnya yang berada tepat di hadapannya namun sebagai orang yang seperti tak ia kenal, secepat mungkin ia meraup tubuh tinggi itu dan menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher yaksa.

“kangen.” ucapan singkat itu tak gagal membuat jantungnya berpesta pora, debar luar biasa yang kompak hadir bersama wajahnya yang kian merah padam. yaksa tak ambil pusing, segera membalas memeluk lugas yang sama dirindukannya. dengan aroma citrus dan kayu manis serta aroma rokok yang dihisapnya pagi tadi, didekapnya erat-erat pria yang nyatanya baru ditemuinya semalam.

“sayang,”

yaksa terkekeh, “hm?”

“nggak kangen gue juga?”

tawanya tak dapat ia tahan-tahan, ia mengangguk tanpa melepaskan pelukan. “kangen banget!”

“gimana kalau lo nggak gue balikin ke arial?”

“yah, jangan.” yaksa lantas melepaskan lugas, namun masih dengan kedua tangannya yang bertaut dibalik tengkuk lugas, dan sepasang tangan lugas yang bertengger di pinggangnya. ia melanjutkan, “lo tau kan arial, kerjaannya nggak akan beres kalau nggak gue temenin.”

lugas lantas mendengkus, “terus dia ngapain kalau segala-galanya masih harus lo bantun?”

“kok marah sih?” yaksa tertawa kecil, memeluk sekali lagi lelakinya sebelum lantas mereka memutuskan untuk pergi, mengejar sosok yang tengah mereka bicarakan dengan lengan yaksa yang melingkar manis pada lengan lugas.

mereka melangkah dengan tautan mesra itu di sepanjang lobby gedung firma yang kini lugas pimpin, menikmati segala atensi dari berpasang-pasang mata yang menyempatkan diri untuk melirik kepada mereka yang begitu serasi. lugas yang luar biasa, dan yaksa yang tak kalah menawannya. padahal yaksa sempat ingin melepaskan tautannya sebelum pintu ruangan lugas terbuka, barangkali orang-orang masih mengingat valerie sebagai pendamping pria ini, namun tangan lugas yang mempertahankan genggamannya seolah meyakinkannya, darisanalah mereka harus memulai.

“emang bener?” yaksa telah menyamankan diri pada bangku penumpang audi milik lugas kala pria itu bertanya, kedua tangannya sudah menggenggam roda kemudi, dan tak menunggu lama sampai mobil mewah itu melaju meninggalkan basement.

“kenapa?”

“kamu pengen makan ganjang gejang?”

“hah?”

lugas menoleh, sebelah alisnya terangkat. “apanya yang ‘hah’?”

“coba ulangin!” yaksa ingin memastikan kalau dirinya tak salah dengar, dengan pipi yang sudah pegal sebab terlalu banyak tersenyum, ia menuntut lugas untuk mengulangi kalimatnya barusan. “tadi nanya apa?”

“kamu pengen makan ganjang gejang? namanya itu kan? kepiting korea itu?”

“kok jadi kamu?” yaksa tersenyum gemas, “udah nggak lo gue lagi?”

“ya habis,” lugas memalingkan pandangannya pada area halaman gedung yang akan mereka tinggalkan menuju jalan raya, ujung bibirnya tertarik, ia melanjutkan, “lucu banget interaksi lo sama arial, gue jadi ngerasa kalau dia yang pacar lo dan bukan gue.”

“idih! ogah banget sama arial! jadi sekertaris aja udah darah tinggi apalagi kalau jadian!” yaksa mendengkus, bukan perihal arial saja yang membuat ia kesal. “kok jadi lo gue lagi?”

“maunya aku kamu aja?”

“iya!” yaksa mengangguk, tubuhnya miring menatap lugas dari samping, memesona luar biasa ketika sosok itu sibuk menyetir begini. “oh iya, tapi emang kita pacaran?”

lugas terkekeh, “iyalah. emang harus ditembak dulu gitu? kayak remaja labil?”

“tapi at least kita punya tanggal anniversary!”

lugas tertawa mendengarnya. menikmati kesalnya yaksa yang bibirnya sudah dimajukan karena luar biasa sebal, merajuk betulan ternyata. karena menurut lugas, ketika yaksa dan ia setuju untuk memulai kembali hubungan yang belum sempat dimulai ini, tanpa harus ada ungkapan perasaan atau tanggal pasti yang harus dirayakan, asalkan mereka saling mencintai dengan komitmen yang nyata, hal-hal seperti itu sudah tak diperlukan lagi.

“yaksa,”

yaksa menoleh dengan lesu, dan lugas mengambil kesempatan pada saat lampu merah menyala untuk meraih tangan yaksa. ia memiringkan tubuh, mengulum senyum gemas karena lelaki di hadapannya kini tampak seperti ingin menangis.

“kamu mau jadi pacarku?”

“beneran?”

ia yang malah sangsi sendiri begitu menggelitik, sebelah tangannya dengan gemas menarik hidung bangir yaksa yang kemudian mengaduh dengan kesal. “ih! lugas!”

“ngapain sih aku main-main soal hal ini? aku bahkan udah sangat siap kalau kita lebih dari pacaran sekarang.”

“giliran diminta baru nembak!” wajah itu kembali tertekuk, dan lugas tak dapat meladeninya lama-lama sebab lampu lalu lintas sudah berubah warna. namun dengan kepalanya yang tiba-tiba bersandar di bahu dan lengannya yang menyelinap dibawah ketiaknya membuat lugas kembali mengulum senyum, menoleh sebentar untuk mengecup sekilas pucuk kepala yaksa.

“kamu pacar pertama aku.”

“serius?”

“iya,” yaksa terkikik, ia kemudian menegakkan tubuhnya untuk kemudian sebelah tangannya terangkat untuk merapikan helaian surai lugas. pipinya masih bersemu, cukup jelas terlihat bahwa hari ini merupakan salah satu hari terbaiknya. “ih, ganteng pacar aku.”

“oh ya?”

“iya ih! sengaja mancing kan kamu?”

bunyi lampu sein yang dinyalakan mengiringi mobil yang menepi, lugas mencari ruang kosong untuk memarkirkan mobilnya sebelum disusul seorang tukang parkir yang mengejar, membantunya menempatkan audi mewahnya di samping mobil arial yang sudah lebih dahulu tiba.

“sa,”

“hm?”

“emang kamu sedeket itu sama arial?”

yaksa yang baru saja mengintip penampilannya melalui kamera depan ponselnya menoleh, memandang lugas yang balas menatapnya. raut wajahnya tampak serius, perubahan suasana hati yang begitu cepat setelah tawa mereka yang terberai lama sebelumnya.

“maksudnya gimana?”

“aku cuma ngerasa kalau interaksi kalian terlalu dekat? kamu bahkan bantu dia pakai jas dan dasi, dan mungkin diluar sana kalian bakal lebih dekat dari itu.”

“kita deket karena aku udah kerja buat dia selama hampir empat tahun, gas.”

“bercandanya arial juga agak kelewatan kan? dia bilang mau nikahin kamu kalau kamu masih nggak ada pasangan akhirnya.”

ekspresi yang dingin, suara yang berat. yaksa merasa dipojokkan oleh lugas yang bahkan tak menatapnya sama sekali, mencengkeram roda kemudi dengan kuat namun setiap kalimatnya entah mengapa amat menusuk. padahal ia baru saja dibawa melayang tinggi. hubungan yang diresmikan, hal yang mungkin tak terlalu berarti baginya namun membuatnya luar biasa bahagia. dihancurkan dengan mudahnya dalam hitungan menit.

“dan kamu pernah suka sama — ”

“kamu kenapa sih? kenapa kita jadi berantem gini?”

“aku cuma tanya, yaksa.”

“kalau tanya nggak gini caranya!” yaksa hampir menangis, namun ditahan-tahannya air mata juga suaranya yang bergetar. tatapan lugas yang terlihat dingin saat marah menakutinya, bagaimana bisa ia begitu bodoh dalam membaca suasana? moodnya hancur berkeping-keping begitu saja.

“arial udah kayak adik buat aku, ayahnya dia nitipin dia yang emang nggak bisa serius supaya aku dampingi. performa dia bagus, tapi dia suka nggak fokus, makanya harus sering diingetin, harus ditemenin, dan kita juga seumuran, jadi makin deket — ”

“kamu juga udah kenal keluarganya dia kan? sering dibawa ke acara keluarga?”

“kamu kenapa jadi gini sih?” matanya sudah berkaca-kaca, dihempasnya begitu saja air mata yang hampir jatuh seolah tak diberi kesempatan. yaksa tak mau terlihat lemah saat ini. “kita deket banget karena udah kenal lama, aku ikut ke acara keluarga dia karena dia nggak punya pasangan dan itupun terpaksa. aku nggak ada rasa sama sekali ke dia, lugas.”

bibirnya digigit, suaranya yang bergetar terlalu jelas terdengar. yaksa sudah tak dapat mengontrol dirinya untuk tetap berpura-pura tegar saat di hadapannya kini lugas masih tampak sangsi padanya, setelah ia bersikap seolah tak perlu ada status bak remaja labil karena mereka tengah menjalani hubungan yang dewasa. setelah seolah ia menunjukkan kepada dunia kecilnya bahwa yaksa adalah miliknya sekarang, dan detik ini juga ia tampak ragu untuk melanjutkan langkah bersamanya.

pertengkaran kecil bukan hal yang menyulitkannya, toh mereka sama-sama sudah dewasa dan lugas sudah tak seperti lugas dewangga yang dikenalnya sebelum sosok itu menghilang bertahun-tahun lamanya. cukup dengan kata maaf dan peluk, cukup membuang tatapan dingin iu dan tersenyum hangat. yaksa tak meminta banyak, namun dalam suasana hatinya yang kacau ini, ia membutuhkan lugas untuk menenangkannya.

resign, sa.”

bukan ini, bukan kalimat yang terdengar menuntut dan harus dilakukan tanpa bantahan ini. yaksa membulatkan matanya saat lugas berujar tanpa emosi, seolah karir yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun dan usahanya selama ini tak ada harganya sama sekali baginya.

tentu saja tak ada harganya, toh lugas dewangga tak pernah mengalami sulitnya mencari pekerjaan. ia yang cemerlang itu tentu tak pernah merasakan penolakan dari perusahaan-perusahaan yang ia lamar hingga merasa terbiasa, tak merasakan ketika ia harus dihadapkan dengan orang-orang yang sudah terlebih dahulu sukses dan segala hal yang ada di dunia tak lagi menarik karena ia hanya membutuhkan sebuah pekerjaan.

“kamu nyuruh aku ngapain, gas?”

resign dari perusahaan arial dan hubungan kita bakal baik-baik aja, selesai.”

darahnya sudah mendidih, yaksa tak dapat menahan dirinya untuk tak mengusak wajahnya frustasi. persetan dengan riasannya, rambutnya yang sudah ia tata sedemikian rupa, hancur pun biar, yaksa sudah tak dapat menahan dirinya untuk tak melampiaskan amarahnya.

“kamu pikir semuanya bakal selesai gitu aja?” lugas diam saja menatap yaksa yang mengepalkan kuat-kuat tangannya, berusaha mengatur deru nafasnya sendiri karena hampir kembali kalah dengan tangis.

“terus kamu pikir dengan aku resign semuanya bakal baik-baik aja?!”

“aku nggak suka kamu deket sama arial — ”

“yang bakal kita hadapin kedepannya bukan cuma arial! kalau cuma cowok itu bikin kamu takut sampai segitunya, sampai aku harus resign dari kerjaan aku, apalagi masalah lain yang lebih besar? orang tua kamu, seluruh dunia kalau perlu, apa aku harus kabur juga?!”

pipinya panas oleh air matanya yang mengalir, yaksa menggingit bibirnya supaya tak terisak. “aku bukan kamu yang punya banyak relasi sampai nggak perlu berusaha buat dapet kerjaan baru! aku nggak pintar, aku nggak kaya! aku udah beruntung banget kerja — “

“aku bakal siapin kerjaan baru, okay? aku nyuruh kamu resign dan aku kasih kamu solusi. aku bisa aja ngecut sandra dan jadiin kamu sekertaris aku — ”

“kamu nggak bakal ngerti!”

“apa yang aku nggak ngerti?!”

yaksa terisak, ia menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. bagaimana mungkin ia lupa jika dibalik lugas dewangga masih ada egonya yang melangit? ia yang cemerlang dan tak suka dikalahkan, tak suka direndahkan, tak suka dibantah dan ingin semuanya sejalan dengan isi kepalanya itu. dunia begitu kecil baginya, mudah untuk digenggam. segala tetes keringat, darah dan air mata dari orang-orang di sekitarnya tidaklah berarti, karena ia tak pernah mengalami kegagalan sedikitpun.

“jangan nangis. kamu cuma ngeribetin hal yang seharusnya sederhana dan mudah — “

“jangan nyuruh aku.” yaksa mengusap wajahnya, ia menarik tasnya sebelum memutuskan untuk pergi. “ — nggak semua hal bakal berjalan semau kamu. ketika kamu mutusin buat merendah dan setara sama aku, maka kamu harus ngerti kalau kamu udah nggak setinggi itu lagi. nggak semua orang tunduk sama kamu dan ego kamu.”

Add a comment

Related posts:

Quando penso em viver de arte

Para instigar novas ideias, Neil Gaiman aconselha que você pense “E se…”. E se gatos conversassem comigo? E se debaixo daquela ponte morasse um duende furioso? E se as árvores acordassem e…

Multitasking is not your thing

Multitasking is a modern word that describes an ability of a person to perform several tasks at a time. Is that even possible? Have you seen people who sketch while they speak on the phone? This…

Advances in Technology and Market Changes Open Parking Opportunities

Longtime real estate professional Brian Sidman of Miami, Florida heads BAS Properties Group as the organization’s founder and chief executive officer. Brian Sidman leads the real estate investment…